Scroll to Top
Pentingnya Penilaian Formatif dan Pembelajaran Berbeda
Posted by maxfm on 8th Desember 2020
| 4789 views
Evi Silvian Rospita – Pegiat Pendidikan [Foto: Istimewa]

MaxFM, Waingapu – Diskusi dengan seorang teman tentang proses pendidikan di masa Pandemi Covid-19 saat ini, memunculkan satu pertanyaan yang ingin saya (penulis) ajukan kepada pendidik di awal tulisan ini. “Siapa yang perlu kita pikirkan ketika mendisain perangkat ajar dan siapa yang sebenarnya mengetahui apa yang dibutuhkan oleh siswa kita?” Pertanyaan ini benar-benar harus dipikirkan agar kita sebagai pendidik dapat menyadari bahwa pembelajaran yang akan kita ajarkan kepada siswa kita, tidak hanya merujuk pada satu buku teks acuan. Sebab bagaimana mungkin sebuah buku dapat memenuhi kebutuhan siswa di kelas yang memiliki kebutuhan yang beragam.

Pertanyaan di atas tidak berarti bahwa penulis anti pada penggunaan satu buku teks dalam kegiatan belajar-mengajar, namun bergerak dari asumsi penulis bahwa perangkat ajar yang baik adalah perangkat ajar yang diciptakan secara khusus untuk mengakomodasi kebutuhan siswa. Karenanya kebutuhan ini harus bisa disandingkan dengan perangkat ajar yang tepat dan sesuai dengan kesiapan siswa, agar siswa dapat lebih memahami dan memaknai apa yang diajarkan. Dengan demikian, apa yang akan diajarkan dapat lebih lama bertahan dalam Episodic memory (ingatan jangka panjang) siswa.

Dalam bukunya The Differentiated Classroom : Responding to the Needs of All Learners (Carol Ann Tomlinson; 2nd edition 2014) dikatakan bahwa kegiatan belajar di kelas, banyak siswa yang hadir secara fisik, namun secara psikologis absen. Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa 40% dari siswa yang belajar di kelas tidak sungguh-sungguh dalam belajar atau memperhatikan apa yang dijelaskan oleh guru. Bahkan sebagian besar siswa mengatakan bahwa gurunya tidak benar-benar memedulikan apakah mereka bisa atau tidak bisa ketika belajar suatu konsep baru, atau kurang tertantangnya siswa sehingga mereka menjadi bosan.



Hal ini bisa disebabkan oleh dua faktor yakni karena materi ajar dinilai terlalu sulit bagi siswa, sehingga menyebabkan siswa stres dan tidak dapat mencerna apa yang diajarkan guru, dan kedua materi akarnya terlalu mudah, sehingga mengakibatkan siswa merasa kurang cukup tertantang dan akhirnya cenderung bosan (12 brain/mind principles in Action, Caine and Caine, 2016).

Karenanya dibutuhkan model strategi pembelajaran berbeda (Differentiated Instruction) bagi setiap kelompok siswa di setiap kelas yang kita ajarkan. Dengan demikian, materi ajar diberikan sesuai dengan kesiapan siswa. Hal ini nantinya dapat mencegah siswa stress atau bosan terjadi di kelas. Akibatnya, apa yang diajarkan guru, akan lebih mudah difahami siswa dan bisa bertahan dalam jangka waktu lama.



Lakukan Asessmen

Untuk dapat melakukan pembelajaran berbeda kepada siswa di kelas, guru harus melakukan asesmen terhadap siswanya agar dapat mengelompokkan siswanya sesuai dengan kemampuan atau kesiapan masing-masing. Dengan demikian, proses pembelajaran di kelas dapat berjalan dengan baik, dan setiap anak mendapatkan pelajaran sesuai dengan kemampuannya.

Agar dapat melakukan asessmen terhadap siswanya, pendidik perlu menggunakan tiga jenis asesmen berikut yakni: (1) penilaian untuk pembelajaran (assessment for learning), (2) penilaian hasil pembelajaran (Assessment of learning), dan (3). Penilaian sebagai bagian dari belajar (Assessment as learning).

Asesmen ini sendiri dilakukan untuk mengetahui tiga prinsip pembelajaran antara lain untuk mengetahui: ke arah mana pembelajaran akan kita tuju, kemudian di posisi mana pembelajaran kita sudah berada, dan bagaimana caranya kita bisa sampai ke sana (Classroom Assessment and the National Science Education standards, 2001). Pra-penilaian (pre-assessment) atau sering juga disebut dengan tes diagnostik oleh Pusat Asesmen dan pengembangan Bahan Ajar Kemdikbud, masuk ke dalam kategori penilaian formatif dilakukan sebelum guru mulai mengajarkan atau memberi materi baru. Hasil dari pra-penilaian (pre-assessment) akan menginformasikan kondisi kelas di mana guru mengajar, yang bisa diikuti dalam ilustrasi berikut:




Setelah melihat kurikulum kelas II pada kurikulum kondisi khusus guru akan mengajarkan Kompetensi dasar 4.4. Menyelesaikan masalah perkalian dan pembagian yang melibatkan bilangan cacah dengan hasil kali sampai dengan 100 dalam kehidupan sehari-hari serta mengaitkan perkalian dan pembagian.

Guru akan memulainya dari mengajarkan perkalian terlebih dahulu, karena keterampilan ini dibutuhkan nantinya saat anak belajar konsep pembagian. Sebelum mulai mengajarkan hal ini, guru akan membuat beberapa soal sederhana terkait keterampilan perkalian. Untuk melihat sejauh mana siswanya tahu tentang konsep perkalian maka guru kemudian memberikan soal tentang penjumlahan berulang (konsep paling dasar dalam perkalian), perkalian bersusun atau jenis soal perkalian lain. Setelah pra-penilaian, maka guru mengetahui bahwa (misalnya) dari 20 siswa di kelasnya ada 10 orang yang belum faham konsep perkalian karena hanya dapat mengerjakan soal tentang penjumlahan berulang. Lalu diketahui pula bahwa ada lima orang siswa yang sudah faham konsep perkalian namun belum lancar menghitung, dan lima orang lainnya sudah faham dan bisa dengan lancar menghitung perkalian.




Setelah mengetahui data tersebut, guru akan menyadari adanya tiga kelompok siswa dengan kesiapan yang berbeda-beda dalam memahami konsep perkalian. Dari sini guru dapat mulai berpikir bahwa materi ajarnya tentu tidak bisa sama. Analoginya adalah bahwa kaos satu ukuran (all size) tidak mungkin dapat dikenakan dengan nyaman oleh orang yang memiliki bobot berbeda-beda bukan?

Dengan menggunakan analogi bahwa ukuran baju all size tidak bisa dikenakan oleh orang dengan bobot yang berbeda-beda, maka guru harus menyiapkan tiga bahan ajar yang berbeda sesuai dengan kesiapan siswa di kelasnya masing-masing, dengan ilustrasinya sebagai berikut:



Untuk 10 orang siswa pada kelompok pertama, guru akan menyiapkan materi ajar berupa penumlahan berulang dengan bantuan benda konkrit seperti batu-batuan kecil, atau biji-bijian. Guru akan membantu kelompok siswa ini terlebih dahulu karena merekalah yang membutuhkan dukungan guru lebih banyak. Lalu bagaimana dengan dua kelompok siswa yang lain?

Sementara gurunya membantu kelompok siswa pertama, maka dua kelompok lain akan mengerjakan tugas mandiri, bisa berupa soal sederhana atau permainan tentang perkalian. Bilamana guru sudah selesai dengan kelompok pertama, maka guru akan memberikan tugas mandiri pada mereka. Selanjutnya guru berlatih mengajarkan secara eksplisit tentang konsep perkalian pada kelompok kedua dan ketiga.

Dengan demikian, ketiga kelompok siswa ini semuanya akan mendapatkan porsi penjelasan yang adil dari gurunya. Karena, meskipun ada kelompok siswa yang sudah faham, guru tetap harus adil dalam memberikan pengajaran kepada mereka, tentunya dengan cara yang berbeda dengan kedua kelompok lainnya.




Demikian, peranan penting penilaian formatif di awal kegiatan belajar (Pre-assessment) menjadi penting untuk dilakukan oleh pendidik agar proses belajar menjadi lebih efektif. Proses penilaian formatif di tengah sesi pembelajaran juga penting dilakukan untuk mengetahui perkembangan siswa dalam belajar, sehingga kita sebagai pendidik dapat mengetahui tindakan pembelajaran yang dapat kita berikan pada siswa.

Pertanyaannya adalah, apakah guru-guru kita siap untuk menyediakan bahan ajar yang berbeda untuk setiap kelasnya? Karena tentu ini akan memberikan tambahan tanggung jawab bagi guru dan tentu akan terasa berat pada tahap awal. Namun jika strategi pembelajaran berbeda ini dilakukan dengan baik, situasi pembelajaran di kelas akan menjadi lebih mudah. Sebab guru tidak lagi mewajibkan semua siswa memahami materi yang sama, melainkan sudah disesuaikan dengan kemampuan setiap kelompok anak, dan penilaiannya juga akan menjadi lebih adil bagi setiap siswa.

Sebagai guru, kita tentu tahu bahwa strategi pembelajaran berbeda seperti ini adalah cara yang tepat bagi kita untuk mengajari siswa-siswi kita dengan baik. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak dari kita yang perlu belajar bagaimana cara melakukannya, dan mungkin ada pula yang menganggap bahwa ini terlalu sulit untuk dilakukan karena menyangkut keengganan mempelajari suatu hal yang baru.



Jika ini terjadi, maka mungkin kita perlu mengingat kutipan Arthur Cotton Dana berikut, “Who dares to teach must never cease to learn” yang artinya kurang lebih “Jika kita memutuskan untuk menjadi guru, maka sudah seharusnya kita tak pernah berhenti belajar.” Semoga…!!! [Oleh: Evi Silvian Rospita – Pegiat Pendidikan]

Print Friendly, PDF & Email
Show Buttons
Hide Buttons