MaxFM, Waingapu – Bersyukur atas berkat yang diperoleh selama setahun sudah menjadi kebiasaan penganut kepercayaan animisme Marapu di kecamatan Wanokaka, kabupaten Sumba Barat, NTT ungkapan rasa syukur itu dilakukan dengan menggelar ritual Pasola atau aksi perang-perangan di atas kuda dengan saling melempar lembing kayu, aksi perang-perangan ini dilakukan setelah melakukan ritual berburu cacing di lautan atau Nyale.
“Sebagai bentuk ungkapan syukur penganut Marapu, Pasola bukan satu-satunya ritual, namun ada ritual lain yang mendahului ritual pasola yakni ritual Nyale,” ungkap Frans Wora Hebi, budayawan kelahiran Kodi, kabupaten Sumba Barat Daya
Ritual nyale merupakan ritual berburu cacing di lautan oleh warga setempat yang dilakukan pada pagi hari sebelum digelarnya pasola.
Ritual diawali dengan para rato Nyale atau pemuka adat turun ke tepi pantai sambil berdoa menurut kepercayaan animisme Marapu agar cacing laut atau Nyale bermunculan di tepi pantai.
Selain itu ritual nyale juga memohon restu para dewa agar panen tahun tersebut berhasil dengan baik. Semakin banyak Nyale atau cacing laut ditangkap dipercaya masyrakat setempat akan banyak rejeki di tahun ini.
“Cacing ini dipercayai membawa keberkahan bagi siapa saja yang menangkap dan mengkonsumsinya” Ujar Daru seorang warga yang ikut mengambil Nyale.
Banyak pula yang mempercayai bahwa cacing ini dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit sehingga penduduk lokal biasa memakan cacing ini dalam keadaan hidup.
Dua macam cacing laut yang diburu oleh warga cacing yang besar biasanya melambangkan jagung serta yang kecil biasa melambangkan padi. Ritual ini merupakan ritual sakral bagi penganut marapu karena hasil panenan tahun depan dapat terlihat dari seberapa banyaknya nyale yang dikumpulkan.
“Nyale merupakan acara puncak dalam tahun baru adat marapu karena setiap keluarga datang memberikan sesajian kepada nenek moyan setelah itu baru dilakukan pasola sebagai ekspresi kegembiraan datangnya nyale,” jelas Frans Wora Hebi.
Setelah ritual Nyale, kemudian ritual Pasola dimulai dengan bertempat di tepi pantai. Ritual Pasola bagi masyarakat di kecamatan Wanokaka, kabupaten Sumba Barat selalu digelar pada setiap awal tahun.
Jadwal pasola selalu ditentukan oleh para rato Tak ada jadwal pasti dalam pasola karena selalu berdasarkan perhitungan tahun komariah atau peredaran bulan. Biasanya pasola jatuh pada bulan gelap hari ketujuh di bulan Februari atau bulan gelap hari keenam di bulan Maret.
Pasola merupakan acara perang-perangan diatas kuda dengan senjata berupa lembing kayu. Acara ini hanya dikhususkan pada kaum lelaki.
Sebelum dimulainya acara Pasol, para rato melakukan ritual doa di pinggir lapangan Pasola beserta para peserta Pasola dengan kuda tungangannya masing-masing memohon berkat dan perlindungan dari leluhur.
“Kami yang bertanding dalam acara Pasola harus meyiapkan sejumlah perlengkapan berupa lembing dan kuda yang bagus sebab kuda yang kuat dan bisa berlari kencang membuat penungganya bisa lebih tangkas dan gesit dalam menyerang dan menangkis serangan lawan,” kata Haga seorang peserta Pasola.
Tak ada perlindungan yang memadai karena para penunggang kuda tak dilengkapi baju pengaman atau perisai.Kudapun dihias dengan segala macam pernak pernik dan kain berwarna-warni agar menjadi pusat perhatian.
Setiap pemain Pasola tidak hanya tahu melempar lembing untuk mengenai musuhnya namun ia juga harus waspada terhadap serangan lawanya, lengah sedikit saja bisa membuat ia atau kudanya terluka bahlan tak jarang yang jatuh dari kuda akibat terkena lemparan atau tak hati-hati.
Dua kubu yang bertanding dalam pasola berada pada sisi utara dan selatan ini sudah ditentukan sejak jaman nenek moyang dulu.
Seperti peserta Pasola bernama Ngunti dan Haga ini menurut mereka sudah sejak muda tak jemunya mengikuti pasola karena ingin menunjukan keberanian dan bakat sebagai lelaki sumba dan tak malu memperkenalkan budaya warisan nenek moyang kepada khalayak tanpa rasa takut sedikitpun.
“Saya sejak umur 19 tahun ikut pasola, dari leluhur sudah mengajarkan saya ikut Pasola yang membuat saya tertarik, rasa senang, bangga, karena ini seperti permaianan, banyak orang melihatnya, bila terkena lembing itu resiko kita, setiap resiko itu adalah beban kita sebagai seorang lelaki harus berani dan tak ada rasa takut sedikit pun,” jelas Ngunti salahs atu peserta pasola.
“Ini budaya leluhur nenek moyang kami, kami senang orang datang melihat dan kami tidak takut sedikitpun bila terkena lembing kayu,” kata Haga menimpali.
Walaupun tidak seperti perang sungguhan perang lembing ini punya aturan sendiri mereka hanya diperbolehkan saling serang ketika sama-sama berada di atas kuda namun bila salah satu telah turun atau jatuh dari kuda maka pihak lawannya tidak boleh meyerangnya lagi. Tak jarang ada yang terkena lemparan lembing hingga berdarah.
Tak hanya berbahaya buat para peserta, pasola juga berbahaya buat penonton dan para pengumpul lembing yang berada di tengah lapangan bila tak hati-hati melihat arah datangnya lembing.
Sorak sorai ribuan penonton dari tiap pendukung membahana seluruh arena pertandingan ketika lawanya terkena lembing.
Tak ada dendam dalam pasola semua pemain harus iklas menerima apa yang terjadi di arena mereka percaya karena bagi setiap pemain yang masih menyimpan dendam akan menerima bala dari nenek moyang.(Ignas Kunda)