Scroll to Top
Tradisi Megalitik: Eksotisme Sumba
Posted by maxfm on 18th Januari 2018
| 9184 views
Tarik Batu Kubur, Desa Anakalang, Kec. Katikutana, Sumba Tengah [Foto: Retno Handini]

MaxFM, Waingapu – Sumba sungguh suatu destinasi yang menjanjikan banyak keindahan bagi pecinta kebudayaan. Tenun ikatnya yang dibuat dengan pewarna alami dari ketrampilan tangan-tangan halus wanita Sumba sudah dikenal se antero dunia. Alamnya yang luar biasa indah dengan padang savana yang elok dan laut biru mengundang para petualang untuk datang. Tapi bicara soal Sumba tidak hanya tentang kain tenun atau alamnya, kebudayaan Sumba yang sangat eksotik yang merupakan tradisi dari budaya megalitik adalah living culture yang tidak bisa ditemui di wilayah lain.

Artefak-artefak megalitik terutama kubur batu dan menhir hampir selalu bisa ditemukan di seluruh bagian Sumba. Batu-batu besar kokoh dengan berat berton-ton yang dipahat sangat halus didedikasikan sebagai kubur orang tua atau leluhur. Bagi orang Sumba, kubur batu hampir selalu berasosiasi dengan pemukiman, untuk menjaga kedekatan mereka dengan anggota keluarga yang telah meninggal. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari adanya anggapan bahwa roh leluhur dapat melindungi keluarganya yang masih hidup. Letak kubur di depan rumah juga menjadikan keluarga yang masih hidup senantiasa teringat kepada leluhurnya yang telah meninggal dan memudahkan mereka untuk mengirim doa dan sesaji.



Kubur-kubur batu di Sumba dibuat dengan teknik pengerjaan yang rumit dan teliti. Beberapa jenis kubur batu terutama watu pawesi umumnya dipahat dengan sangat halus dan memiliki pola hias yang raya yang masing-masing memiliki makna filosofi sendiri. Hiasan marangga yang berbentuk perhiasan dada dan mamuli yang berbentuk seperti vagina yang distilir melambangkan kesuburan. Hiasan kerbau dan babi melambangkan status sosial, hiasan gong (katala) melambangkan kekayaan, hiasan kura-kura melambangkan kaum bangsawan. Hiasan buaya, anjing dan kuda melambangkan penjaga kubur. Hiasan-hiasan lain berupa geometris dan sulur-suluran memiliki makna keindahan.

Tradisi megalitik di Sumba sangat terasa dengan konsep pemujaan leluhur yang tercermin dari upacara-upacara ritual yang masih berlangsung hingga saat ini. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kepercayaan asli masyarakat Sumba yakni Marapu, yang bertumpu pada pemujaan leluhur. Penganut Marapu percaya adanya Dewa-Dewa di sekeliling mereka dan percaya bahwa arwah nenek moyang masih tetap hidup sehingga mereka memperlakukan arwah nenek moyang secara istimewa. Perlakuan istimewa tersebut antara lain diwujudkan dalam bentuk pemberian sesaji secara berkala yang dipersembahkan pada roh leluhur. Keberadaan ruang Marapu di atap rumah sebagai tempat sesaji untuk para Dewa juga merupakan manifestasi kepercayaan pada roh leluhur.

Ritual Tarik Batu

Masyarakat Sumba mengenal upacara tarik batu sebagai bagian dari tradisi menghormati leluhur. Prosesi penarikan kubur batu dari tempat asal menuju lokasi baru merupakan fenomena yang sangat menarik. Pada masa lalu dimana tarik batu masih dilakukan sepenuhnya dengan tangan, sangat terasa nuansa megalitiknya. Ratusan atau bahkan ribuan orang bekerja secara gotong royong menarik batu yang beratnya bisa mencapai puluhan ton. Waktu seolah berhenti, kita merasakan langsung eksotisme peradaban megalitik yang megah di depan mata.

Seiring perkembangan jaman, ritual tarik batu dengan tangan mulai ditinggalkan. Masyarakat Sumba saat ini lebih memilih penggunaan alat berat seperti truck tronton atau excavator guna menarik batu kubur dari tempat asal menuju perkampungan. Meski berbeda teknologi pengangkutan, namun esensi ritual tarik batu tetap sama yakni mempersembahkan batu kubur yang terbaik sebagai penghormatan untuk leluhur.

Jenazah Tamu Rambu Anamatour Dalam Balutan Kain Adat Yang Indah di Rumahnya di Kampung Rindi Praiyawang, Sumba Timur [Foto: Retno Handini]

Saat tarik batu, kubur batu dihias dengan kuda-kuda (tenan) berupa dua gelondong kayu bulat utuh yang ukurannya disesuaikan dengan batu. Kedua ujung kayu disatukan dan dibentuk menyerupai kepala kuda. Walaupun tenan berbentuk kepala kuda, namun secara simbolis tenan melambangkan perahu sebagai kendaraan yang akan membawa kubur batu. Diatas tenan diberi kerangka kayu berbentuk empat persegi panjang mengelilingi batu, sebagai tempat meletakkan paji dan bendera. Paji adalah bentangan kain berwarna putih, sedangkan bendera (regi khobu) berupa kain-kain tenun motif asli Sumba yang merupakan sumbangan dari para kerabat. Paji dan bendera memiliki makna untuk ”memayungi” perjalanan agar selalu dingin dan teduh.

Di Sumba, pemimpin upacara tarik batu disebut paaung watu yang secara harfiah berarti panggil batu, yang berperan mengatur jalannya upacara sambil senantiasa meneriakkan kata-kata semangat. Paaung watu adalah sang pemimpin ritual dan penentu sukses tidaknya ritual tarik batu sehingga harus memiliki kemampuan untuk mengatur dan memberi semangat kepada massa. Sesaat sebelum acara tarik batu dimulai, paaung watu memberikan santan kelapa (way malala) yang dipercikkan ke batu, sebagai simbol penyucian batu agar batu lebih mudah untuk ditarik. Di atas batu juga disiapkan gong (katala) dan beduk (laba) sebagai alat musik untuk memberikan semangat kepada para peserta ritual.



Kubur batu dalam istilah arkeologi disebut dengan dolmen, di Sumba merupakan kubur primer yang dipakai secara komunal antara suami istri dan cucu-cucunya. Ciri-ciri budaya megalitik yang berintikan pemujaan kepada arwah leluhur (ancestor worship) itu tidak hanya terlihat dari pendirian dan pemakaian kubur-kubur batu, tetapi juga dapat dilihat dalam keseharian mereka. Marapu yang masih dianut sebagian orang Sumba saat ini, merupakan kepercayaan asli yang bertumpu pada pemujaan arwah nenek moyang, meyakini roh-roh leluhur sebagai penghubung antara mereka yang masih hidup dengan Sang Pencipta, inilah inti dari pendirian kubur-kubur batu tersebut.

Pada masyarakat yang mengagungkan para leluhur seperti Sumba, upacara kematian menduduki tempat yang istimewa. Mereka tidak segan menggunakan harta benda yang dimiliki untuk memuliakan arwah leluhur. Memotong banyak hewan kurban seperti kerbau, kuda dan babi, menjadi sesuatu yang esensi yang diyakini akan memperlancar perjalanan arwah ke alam baka. Prosesi upacara kematian yang megah di Sumba tentu saja konsekwensinya memakan biaya yang amat besar.

Tarik Batu Kubur di Welawa, Sumba Tengah Dengan Menggunakan Tronton [Foto: Retno Handini]

Ritual tarik batu Sumba menunjukkan status sosial, karena hanya keluarga bangsawan dan memiliki kemampuan ekonomi tinggi yang bisa melaksanakan upacara tersebut. Kubur batu di Sumba Timur dikenal dengan nama reti berukuran cukup besar terdiri dari tiga bagian yakni atap, kubur batu, dan penji (menhir yang berfungsi sebagai hiasan). Kubur ini bersifat komunal, karena satu lubang kubur diperuntukkan bagi jenazah suami istri atau cucunya.

Begitu banyak pengorbanan yang rakyat Sumba berikan demi sebuah upacara penguburan agung yang akan mengantarkan arwah leluhur menuju keabadian. Sungguh satu dedikasi yang sangat tinggi dari masyarakat Sumba untuk leluhur yang mereka cintai.

Penulis: Retno Handini, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Print Friendly, PDF & Email
Show Buttons
Hide Buttons