Scroll to Top
SITUS LAMBANAPU: JEJAK NENEK MOYANG ORANG SUMBA
Posted by maxfm on 15th Januari 2018
| 34785 views
Rangka dan Tempayan di Situs Lambanapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, NTT [Foto: Retno Handini]
Rangka dan Tempayan di Situs Lambanapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, NTT [Foto: Retno Handini]

MaxFM, Waingapu – Siapakah nenek moyang Sumba ? dari mana mereka berasal ? Kapan mereka sampai di Sumba ?. Pertanyaan yang sangat menarik untuk dicari jawabannya. Tradisi lisan menyatakan bahwa nenek moyang Orang Sumba pertama kali tinggal di Kampung Wunga setelah menempuh perjalanan dengan kapal dari Malaka. Wunga berasal dari kata ”kawunga”, yang berarti ’asal’. Seperti namanya, Desa Wunga di Kecamatan Haharu, Sumba Timur, ini dipercaya sebagai kampung asal bagi orang Sumba. Dari Kampung inilah kemudian mereka menyebar ke wilayah lain. Riset genetika orang Sumba yang merupakan campuran haplogrup Austronesia, Papua, dan Asiatik ditemui di Wunga, menguatkan cerita desa itu sebagai kampung pertama pulau Sumba.

Sejarah penghunian Sumba adalah rangkaian dari persebaran leluhur Austronesia di Nusantara yang diperkirakan sejak 3500 tahun yang lalu. Bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa Sumba sudah dihuni setidaknya 2500 tahun yang lalu.



Rangka manusia yang ditemukan di Situs Lambanapu dan Situs Melolo merupakan leluhur dari generasi ke generasi menurunkan populasi Sumba sekarang. Sangat mungkin kedua situs ini merupakan hunian-hunian awal sebelum generasi-generasi berikutnya menyebar ke wilayah lain di Sumba. Persebaran yang berlangsung seiring perjalanan waktu akhirnya menjadikan keseluruhan wilayah pulau dihuni seperti yang kita lihat sekarang.

Casting Rangka dan Tempayan dari Situs Lambanapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, NTT [Foto: Retno Handini]
Casting Rangka dan Tempayan dari Situs Lambanapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, NTT [Foto: Retno Handini]

Situs Lambanapu yang hanya berjarak 10 km dari Waingapu merupakan situs hunian leluhur Sumba. Kehadirannya di Sumba adalah bagian dari persebaran mereka di kepulauan Nusantara lewat laut dalam mencari ladang kehidupan yang baru. Lambanapu yang menempati lembah di sekitar daerah aliran Sungai Kambaniru sebelum bermuara ke laut merupakan pilihan yang tepat, karena merupakan lingkungan yang ideal.

Lima rangka manusia yang ditemukan pada ekskavasi di Situs Lambanapu tahun 2017 merupakan ras Monggoloid. Sementara analisis yang pernah dilakukan pada rangka manusia di Situs Melolo, berkarakter Ras Monggolid yang kuat bercampur dengan Ras Australomelanesid, berusia 2.800 tahun yang lalu. Data sementara ini selaras dengan hasil analisis DNA yang dilakukan lembaga Eijkman terhadap populasi Sumba sekarang yang memperlihatkan campuran kedua ras tersebut, bahkan di antara Ras Monggoloid diperkirakan campuran kelompok penutur Austronesia dan Austroasiatik. Keragaman genetika ini didukung pula hasil studi bahasa Sumba dimana 35 % di antaranya merupakan Bahasa Austronesia sedangkan 65 % Bahasa non-Austronesia atau Papua.

Data arkeologi, genetika, dan bahasa menunjukkan orang Sumba merupakan campuran dua ras, kurang lebih sama dengan populasi yang menghuni zona Wallacea pada umumnya. Percampuran genetika memang sangat memungkinkan terjadi mengingat sejarah hunian Nusantara yang terisi oleh beberapa gelombang migrasi besar di masa lampau.




Kehadiran kedua kelompok penutur bahasa ini menciptakan interaksi dengan Ras Australomelanesid hingga menciptakan hibridisasi dan akulturasi. Proses seperti inilah yang besar kemungkinan terjadi di Sumba. Sangat mungkin rangka-rangka situs Lambanapu dan Melolo memiliki karakter Monggolid yang bercampur dengan Ras Australomelanesid sebelum mereka bersebar ke Sumba. Hal ini diperkuat oleh temuan berupa tembikar dan beliung persegi yang merupakan budaya khas Penutur Austroasiatik dan Austronesia. Sebelum kedatangannya Sumba diduga sudah dihuni populasi Australomelanesia, sehingga menjadikan percampuran genetika di antara keduanya. Kondisi yang terus berlangsung lambat laun menjadikan campuran Australomelanesid yang semakin kuat sebagaimana kita lihat sekarang.

Situs Lambanapu merupakan situs kunci dalam pemahaman kehidupan leluhur Austronesia atau tentang siapa yang disebut sebagai populasi asli Sumba. Individu-individu yang dikuburkan di situs ini merupakan leluhur yang turun temurun dari generasi ke generasi menurunkan populasi Sumba sekarang. Boleh jadi situs ini merupakan hunian-hunian awal sebelum generasi-generasi berikutnya menyebar ke wilayah lain di Sumba. Persebaran yang berlangsung seiring perjalanan waktu akhirnya menjadikan keseluruhan wilayah pulau dihuni seperti yang kita lihat sekarang.



Keberadaan Situs Lambanapu memberikan pemahaman tentang diaspora penutur Austronesia dalam persebarannya di kawasan Nusantara. Mereka menyebar ke pulau-pulau dengan cara berlayar mengarungi laut dan selat. Dengan menelusuri pantai mereka berhenti di muara-muara sungai dan mengeksplorasi lingkungan untuk mengetahui kelayakan huni. Keletakan Lambanapu yang tidak jauh dari sungai menunjukkan model persebaran semacam ini.

Situs Tempayan Lambanpu [Foto: Heinrich Dengi]

Populasi pulau Sumba kemudian diperkirakan telah aktif dalam perdagangan internasional dengan mempertukarkan kayu cendana dan gaharu yang banyak tumbuh di pulau ini. Sekitar abad-abad sebelum dan sesudah Masehi budaya Megalitik memasuki Nusantara, termasuk Sumba. Inti budaya yang merupakan kepercayaan terhadap arwah leluhur ini rupanya kompatibel dengan alam pikir masyarakat Sumba, sehingga mejadikannya diterima dan berkembang luas bahkan berlanjut sebagai tradisi yang menembus waktu. Pemujaan roh yang merupakan inti dari budaya Megalitik itu masih masih terus bertahan di wilayah Sumba dan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Marapu.



Nilai-nilai budaya Sumba turut memperkaya sekaligus menguatkan keanekaragaman budaya Nusantara. Sejarah penghunian Sumba merupakan rangkaian dari persebaran leluhur Austronesia di Nusantara yang diperkirakan sejak 3.500 tahun yang lalu. Keberadaan laut tidak membatasi interkoneksi pulau oleh ketrampilan dan penguasaan teknologi pelayaran. Keletakan Sumba yang agak menjauh ke selatan dan dibatasi laut dari gugusan Kepulauan Nusa Tenggara, tidak menjadi hambatan bagi manusia untuk menghuni pulau ini sejak ribuan tahun yang lalu. Sumba bukanlah pulau yang terisolir dengan sejarah yang berdiri sendiri, tetapi bagian dari dinamika kehidupan di Nusantara. Sejarah penghunian Sumba merupakan rangkaian dari persebaran leluhur Austronesia di Nusantara yang diperkirakan sejak 3500 tahun yang lalu. Bukti-bukti sebaran dengan situs-situs Neolitik pantai kontemporer ditemukan di kepulauan Nusa Tenggara dan Nusantara pada umumnya.



Para leluhur bangsa dapat menyebar ke ribuan pulau di Nusantara berkat kemahiran dalam pelayaran. Dengan menggunakan perahu cadik – alat transportasi khas leluhur Austronesia – mereka mampu mengarungi lautan hingga mereka dalam persebarannya dapat menghuni kawasan kepulauan yang maha luas. Sejarah mencatat persebaran mereka melingkupi Madagaskar di barat dan Pulau Paskah di timur. Sebaran ini merupakan sebuah capaian besar dalam sejarah kemanusiaan. Dalam rangkaian persebaran itulah mereka memasuki Indonesia ca. 4000 BP. Bukti-bukti tertua ditemukan di Minanga Sipakko, Kalumpang dan beberapa situs lainnya di Sulawesi dan dari sini bersebar lebih lanjut ke pulau-pulau lainnya.

Hunian-hunian awal dengan budaya khas Neolitiknya kemudian berlanjut pada budaya Paleometalik di sekitar abad-abad sebelum dan sesudah Masehi dengan interaksi antar-pulau yang semakin intensif. Penguasaan teknologi pelayaran menjadikan hunian di setiap pulau terinterkoneksi. Perdagangan antar-pulau pun secara langsung atau tidak langsung menciptakan amalgamasi budaya dan kemungkinan juga perkawinan antara-pulau. Keberadaan laut tidak membatasi interkoneksi pulau oleh ketrampilan dan penguasaan teknologi pelayaran.




Sumba adalah bagian yang tak terpisahkan dari wawasan Nusantara hingga sekaligus menguatkan nilai keindonesiaan. Di lain sisi penggalian dan pemasyarakatan nilai-nilai itu akan menumbuhkan pemahaman tentang siapa “Orang Sumba”, hingga melandasi penguatan karakter dan penumbuhan kebanggaan, sekaligus menginspirasi kemajuan dan yang kemudian bermuara pada peningkatan kontribusi bagi bangsa di masa depan.

Penulis : Retno Handini, Peneliti pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Buttons
Hide Buttons