MaxFM, Waingapu – Ada istilah kenisbian budaya. Budaya itu relatif. Atau dalam istilah asingnya, “cultural relativism” Artinya, apa yang dianggap baik oleh pendukung budaya bersangkutan, belum tentu juga baik bagi orang lain. Sebaliknya bagi pendukung budaya juga tidak boleh fanatisme atau “budaya sentris”, bahwa hanya budayanya yang baik. Dengan begitu berlaku dikatomi ingroup dan outgroup di mana ingroup akan menganggap dirinya the best, yang paling baik, sedangkan yang lain tidak.
Perlu diketahui bahwa penilaian baik-buruknya, untung-ruginya suatu kebiiasaan ada yang bersifat normatif, umum. Artinya, apa yang dilakukan oleh pendukung budaya dan ternyata ada penilaian umum yang menganggap hal itu merugikan, tidak baik, itu berarti pendukung budaya harus berani menerapkan kearifan lokal untuk meninjau kembali atau mengoreksi apa yang dianggap u mum merugikan, tidak sesuai dengan norma.
Banyak contoh kebudayaan (adat kebiasaan) berbagai suku di Indonesia yang kini sudah hilang karena tidak sesuai dengan norma umum atau yang tidak seharusnya ada. Di Indonesia ada suku yang memiliki adat kebiasaan, kalau anaknya meninggal dunia, maka sebagai tanda berkabung ibu memotong satu ruas jari tangannya. Bayangkan kalau ibu itu punya banyak anak dan meninggal semua. Juga ada suku kalau kedatangan tamu laki-laki, dan bermalam, maka tamu itu ditanyai apa dia mau “sarung lama atau sarung baru”. Ungkapan bahasa ini tentu kita sudah paham apa artinya.
Di Sumba umumnya, Sumba Timur khususnya ada kebiasaan yang merupakan budaya yang tadinya sulit dirubah, tapi karena dinamika yang mengharuskan akhirnya terjadi perubahan. Misalnya dulu menjadi keharusan mengambil anak om, sekarang tidak lagi. Demikian juga mengenai belis. Dulu orang harus membayar dengan hewan dan emas. Sekarang ada yang namanya hewan di saku, artinya uang. Meskipun demikian masih dipertahankan supaya jangan semuanya uang untuk menghilangkan asumsi bahwa anak perempuan dinilai dengan uang.
Dari contoh di atas terlihat adanya pergeseran nilai. Akan tetapi tidak seluruhnya dirombak. Masih boleh kawin dengan anak om tapi tidak harus. Separuh hewan (belis) boleh diganti dengan uang. Dalam arti inti kebudayaan/kebiasaan itu tidak hilang tapi dipatutkan dengan tuntutan jaman.
Adat Kematian Sumba Timur
Orang Sumba Timur yang beragama Marapu percaya juga pada Sang Pencipta, Yang Mahaesa, yang disebut Pande Pehu Tamu – Pande Nyura Ngara, atau Nama Wulu Tau – Na Majii Tau, yang tak ada bandingan namanya, yang merancang kehidupan manusia, dengan sejumlah julukan lain. Akan tetapi karena orang yang beragama Marapu tidak masuk di akal tentang misteri penciptaan, creatio ex nihilo, (penciptaan dari ketiadaan) maka Mawulu Tau dijuluki Ama Pakawurung – Ina Pakawurung (Bapa dan Ibu asal manusia). Mereka melahirkan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang diturunkan ke bumi dan ditempatkan di Kandau Ndai – Kabunu Tana.
Dua suami-isteri tadi dibuatkan perjanjian agar sekali kelak mereka harus mati. Sebab jika tidak, binatang dan tumbuhan juga tidak mau mati sehingga manusia tidak punya makanan. Suami-isteri setuju karena itu mereka mengalami kematian pada suatu saat. Versi lain mengatakan, suami – isteri yang sudah lama hidup bersama namun tidak punya anak karena ada sejenis makanan yang mereka konsumsi. Mereka menjadi bosan sehingga mereka merubah mennu (seperti yang kita konsumsi sekarang). Mereka berkembang-biak tapi akibatnya mereka harus mati agar bumi tidak penuh sesak dengan manusia dan makhluk lain. Itulah pandangan orang Sumba Timur tentang kematian.
Sebelum orang Sumba Timur (Sumba umumnya) mengenal kebiasaan menguburkan orang mati, jenazah ditaruh saja di bawah pohon yang rindang atau di tempat lain yang dirasa aman. Di Kodi Sumba Barat Daya masih terdapat bahasa baitan yang mengingatkan hal itu dalam, kadoki horo koko, maliti hende ate, artinya pohon beringin tempat bersandar, pohon beringin tempat berharap. Jenazah ditaruh di atas cabang-cabang beringin yang merapat dengan akar-akar gantung sehingga terlindung. Ari-ari bayi sampai tahun 1950-an masih digantung di atas pohon dalam wadah tempurung kelapa yang berpenutup. Di Waingapu dan sekitarnya pada tahun 1960-an kami masih melihat kayu pemikul mayat dan karaba (kayu yang dipahat berbentuk perahu untuk menyimpan mayat sementara) digantung di atas pohon.
Kebiasaan tidak menguburkan jenazah kira-kira terjadi pada jaman proto Melayu Tua karena saat itu orang belum mengenal alat penggali kubur dari besi. Dan mungkin kebiasaan menguburkan orang mati terjadi ketika proto Melayu Muda yang sudah mengenal besi masuk ke Sumba. Menyusul pembuatan kubur megalith berbentuk dolmen seperti yang kita lakukan sekarang.
Menyangkut upacara penguburan yang dikaitkan dengan kepercayaan Marapu sebenarnya tidak ada. Menurut Nggodu Tunggul, budayawan Sumba Timur, mantan Penilik Kebudayaan Kabupaten Sumba Timur, menjawab pertanyaan kami, sebenarnya tidak ada hubungan antara besar-kecilnya upacara penguburan dengan penerimaan roh yang meninggal di paraingu Marapu (surga). Besar-kecilnya upacara berkaitan dengan besar-kecilnya keluarga, atau siapa orangnya yang meninggal. Ini sudah menyangkut prestige manusia yang tidak ada hubungannya dengan kepercayaan. Senada pula dengan apa yang dikatakan oleh Nyali Tunggul (alm) seorang ratu dari Kaburu. Dulu kala ketika orang Sumba Timur belum berkembang dalam populasi, maka upacara penguburan orang mati dilakukan secara sederhana saja sesuai dengan kondisi. Jadi di antara keluarga inti dan keluarga lain yang tidak seberapa. Cukup dengan potong ayam, mendingan kalau ada babi satu-dua ekor.
Kini populasi masyarakat Sumba Timur semakin bertambah. Demikian juga hubungan kekerabatan karena perkawinan, pergaulan, hubungan kerja semakin meluas. Jadi kalau ada yang meninggal sudah barang tentu semua kerabat terkait harus diundang. Jika tidak maka keluarga duka akan menghadapi masalah adat. Di Kodi orang yang tidak diundang menuduh keluarganya yang meninggal sengaja dibunuh.
Mengingat banyak keluarga yang diundang, maka keluarga duka harus mempunyai persiapan. Tapi biasanya keluarga duka itu sangat terbantu dari banyak pihak seperti yeara, ana kawini, tetangga dan kerabat lain. Biasanya mereka membawa yubuhu (kain sarung), babi, kuda, kerbau. Khusus untuk tetangga, keluarga dekat lainnya, sahabat kenalan, mereka membentuk kelompok dan membuat kawarung (tenda). Satu kelompok bisa 5 sampai 10 kk. Mereka mengumpulkan kopi, gula, beras, sirih-pinang dan babi untuk melayani undangan yang dibagi berdasarkan besar-kecilnya persiapan. Separuh undangan dijamu oleh keluarga duka.
Yang menjadi masalah keluarga duka ketika usai penguburan di mana semua orang yang membantu harus diimbal sebagai tanda terimakasih. Padahal kebanyakan orang yang membantu itu tanpa pamrih meski dalam hati terkandung juga harapan agar bilamana mereka mengalami musibah mereka juga bisa dibantu. Dan ini sebenarnya merupakan arisan keluarga yang tidak mencekik. Tapi yang terjadi selama ini justeru imbalan harus diberikan pada saat duka masih berlangsung. Yang membuat kawarung diberi ucapan terimakasih dengan memotong babi untuk tiap kelompok atau kalau tidak memungkinkan semua kelompok disatukan. Demikian juga yeara dan ana kawini entah berapa orang mereka harus dimbal dengan pemotongan babi atau diberi hewan. Sehingga peristiwa kematian berkonotasi sebagai ajang jual-beli.
Selesai upacara penguburan keluarga yang tadinya dibantu sudah tidak punya apa-apa lagi, bahkan acap kali masih punya banyak hutang. Biaya adat kematian ini akan membengkak jika yang meninggal itu dibuatkan batu kubur megalith berbentuk dolmen yang menelan biaya jutaan rupiah.
Hal-hal inilah yang perlu ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan perkembangan jaman. Misalnya pembawaan orang yang ikut berduka seperti yeara, ana kawini dan yang membuat kawarung tidak harus dihabiskan untuk mengimbal mereka sebagai wujud tanda terimakasih. Tanda terimakasih secara verbal kiranya cukup dan tidak perlu disimbolkan dalam bentuk materi. Tanda terimakasih dalam bentuk materi bisa diwujudkan bilamana mereka mengalami peristiwa yang sama atau musibah lain. Atau kalau mau berterimakasih dalam bentuk materi tidak perlu satu per satu diimbal tapi cukup satu ekor babi untuk semua karena ada juga bahasa baitan yang mengatakan kaliti duangu njara. Artinya mereka digabungkan dalam satu wujud tanda terimkasih. Dengan demikian bantuan-bantuan yang masih ada bisa dimanfaatkan untuk keperluan yang lain, misalnya menyekolahkan anak yang selama ini kurang diperhatikan. Seringkali kita mendengar keluhan baik dari anak-anak sendiri atau dari orang lain yang mengatakan bahwa orang tua lebih mementingkan pesta daripada memperhatikan pendidikan anak-anak. Kalau membuat pesta orang tua tidak tanggung-tanggung berhutang. Padahal pendidikan anak-anak ini merupakan aset masa depan untuk kelangsungan hidup baik untuk orang tua maupun untuk anak-anak sendiri.
Lama Penyimpanan Mayat Yang Tidak Menentu
Di Sumba Barat jenazah bersemayam di rumah duka paling lama 3 hari. Kalau ada kelurga inti yang harus ditunggu karena berada di luar daerah paling lama satu minggu. Tapi di Sumba Timur tidak ada batas waktu penyimpanan jenazah di rumah duku. Bisa satu tahun bahkan bertahun-tahun. Pada 29 Juli 1973 ada pembunuhan besar-besaran oleh perampok emas di kampung Papipit, Kecamatan Hahar, Kabupaten Sumba Timur, penguburannya baru dilaksanakan pada tahun 2000.
Bila kita tanya pada tetua ada mengapa penyimpanan mayat terlalu lama, maka jawabannya adalah:
1. Semua keluarga baik yang jauh maupun yang dekat harus diundang, jika tidak akan menimbulkan perselisihan karena mereka wajib menyaksikan bahwa keluarganya benar-benar sudah meninggal.
2. Peristiwa kematian itu merupakan momen di mana semua keluarga bisa berkumpul. Jika di antara mereka ada yang bermusuhan dengan yang meninggal atau keluarga maka sebelum penguburan masalahnya harus diselesaikan dalam wujud perdamaian. Ada ungkapan, kita didamaikan oleh orang yang meninggal.
3. Mengundang keluarga yang jauh yang harus didatangi satu per satu memakai wunang dengan adat sebagai alas bicara itu membutuhkan waktu dan materi.
4. Untuk mendamaikan keluarga yang bertikai itu juga memakan waktu. Untunglah menurut kepercayaan orang Sumba Timur yang beragama Marapu ada keharusan berdamai, sebab jika tidak, bila dia meninggal akan ditanya oleh Mawulu Tau mengapa dia tidak hadir pada saat keluarganya dikuburkan. Jika dijawab kami bermusuhan, maka dia tidak diperbolehkan masuk paraingu Marapu (surga). Adanya keyakinan ini berdampak positif di mana semua perselisihan bisa diselesaikan pada saat kematian.
5. Hal yang terpenting juga adalah faktor ekonomi. Itulah yang disentil oleh wartawan Kompas Frans Sarong dalam bukunya Serpihan Budaya NTT di bawah judul, Ritual Penguburan Menunggu Rezeki. Hal itu dikemukakannya ketika menghadiri penguburan 9 mayat di Kecamatan Rindi pada tahun 2012.
Apa yang dikemukakan di atas seperti jauhnya undangan, mengundang secara adat dalam arti membawa kain sarung bisa di atasi dalam era multi media ini. Kita bisa memanfaatkan jasa telkomsel. Kita tidak boleh berlindung pada kebiasaan lama dengan alasan kesopanan untuk mendatangi tiap orang yang memakan waktu dan biaya.
Dampak lain kalau jenazah disimpan terlalu lama, selain biaya membengkak, juga faktor kesehatan. Dari segi kemanusiaan orang yang ikut papanggang (penunggu mayat) akan terhukum karena dia tidak boleh jauh dari jenazah. Berarti dia dibatasi untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang lain. ( Oleh Frans W. Hebi, Narasumber Tetap di Acara Bengkel Bahasa Radio Max FM Waingapu )